Keluarga Besar "PON"

Selama bertugas dan bekerja di Palembang tentunya banyak yang aku alami yang bisa dijadikan kenangan bagi aku sendiri atau teman-teman lain yang juga pernah bekerja bersama di Palembang. Cerita tentang Keluarga Besar "PON" ini juga terjadi di Palembang, di saat awal-awal aku bekerja di kota ini, tapi kali ini yang aku ceritakan bukan yang aku alami sendiri tetapi tentang seorang teman yang saat itu bekerja di Kantor Daerah Telepon (KANDAPON) Palembang.

Cerita ini berawal dari "singkatan-singkatan" baku untuk sebutan nama Kantor dan Pejabatnya yang berlaku saat itu (tahun 1970-an). Saat itu nama Kantor Daerah Telepon (KANDAPON) atau sama dengan KANDATEL sekarang, dipimpin oleh seorang Kepala Kantor yang sebutannya adalah KAKANDAPON. Demikian juga tempat aku bekerja di Kantor Daerah Telegrap & Telex (KANDATEX) dipimpin oleh KAKANDATEX.

Ketika suatu saat salah satu temanku yang bekerja di KANDAPON saat itu "memacari" salah satu putri-nya KAKANDAPON, mulailah istilah-istilah baru bermunculan menyesuaikan dengan kondisi saat itu. Karena sebutan KAKANDA (Kepala Kantor Daerah) yang bisa diartikan juga untuk sebutan kepada seorang Kakak Laki-Laki, maka kemudian muncullah istilah-istilah baru yaitu "IBUNDAPON" untuk sang istri KAKANDAPON dan Ibu nya sang Putri KAKANDAPON dan "ANANDAPON" untuk sang putri KAKANDAPON dan temanku sendiri mendapat sebutan baru sebagai "MANTUPON" sebagai calon mantu pak KAKANDAPON he he he .... !

Saat mereka pacaran aman-aman saja, namun suatu saat timbul masalah untuk temanku ketika mendapat berita bahwa dia akan di mutasikan ke Surabaya. Secara Kedinasan tidak ada masalah, karena setiap tahun saat itu selalu ada pegawai baru yang baru lulus dari pendidikan dan siap menggantikan siapa saja yang akan di mutasi. Namun untuk temanku ini, menjadi masalah ketika temannya satu angkatan yang bertugas di Jambi sudah mutasi ke Surabaya. Usut punya usut, ternyata setelah di check SK (Surat Keputusan) mutasi sudah ada dan "tertahan" di meja sang "KAKANDAPON".

Suatu hal yang manusiawi kalau sang "KAKANDAPON" yang juga merangkap sebagai Ayah dari seorang putri yang berpacaran sudah lama dengan seorang bawahannya tentunya berharap sang "ANANDAPON" tidak dikecewakan atau di sia-siakan oleh sang Calon "MANTUPON" dan tentunya juga berharap adanya "keseriusan atau kesungguhan" dari sang "MANTUPON" tentang hubungan yang sudah terjalin dengan putrinya. Namun masalah Pribadi akhirnya menjadi masalah "Kedinasan", dengan tertahannya SK Mutasi untuk sang Calon "MANTUPON".

Akhirnya setelah berkonsultasi dengan kita-kita sebagai teman, temanku itu membicarakan dengan keluarganya dan akhirnya diputuskan untuk melamar Putri Sang KAKANDAPON dan setelah melakukan Pertunangan akhirnya SK Mutasi tersebut diserahkan sehingga temanku bisa melaksanakan mutasi ke Surabaya. Akhir dari cerita ini adalah HAPPY ENDING karena tidak lama setelah mutasi ke Surabaya dan setelah Putri dari KAKANDAPON tersebut juga sudah menyelesaikan sekolahnya, mereka kemudian resmi menikah dan Alhamdulillah temanku itu sekarang sudah punya beberapa orang cucu hanya saja dalam Keluarga Besar "PON" ini tidak sempat muncul istilah "CUCUPON" atau "CICITPON" karena Sang KAKANDAPON akhirnya juga melaksanakan mutasi dari Palembang.
Selengkapnya...

Di-Isengin Teman Sentral

Diawal-awal ketika aku mulai bekerja di Palembang ditahun 1974, untuk komunikasi telepon sudah menggunakan sistim Sentral Telepon Otomat, yang saat itu menggunakan sentral telepon type ARF-xxx (type lengkapnya aku lupa) untuk Sentral Lokal-nya dan type ARM-xxx untuk Sentral SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh). Namun untuk sentral SLJJ nya belum difungsikan karena sistem transmisi yang digunakan saat itu Trans Sumatra Microwave (TSMW) belum selesai seluruh pembangunannya, sehingga untuk komunikasi SLJJ dilakukan secara manual dengan menggunakan jasa operator yang lebih dikenal dengan sebutan Interlokal (100).

Nah, cerita tentang "Diisengin Teman Sentral" ini berawal ketika aku yang bekerja di Sentral Telex Kantor Telegrap & Telex (KANDATEX) Palembang, kebagian masuk Dinas Siang sedangkan teman-teman lain yang tinggal serumah yang bekerja di Sentral ARM dan di Dinas Luar (Dinas Jaringan Akses sebutan sekarang) Kantor Daerah Telepon (KANDAPON) Palembang dan Stasiun Radio Microwave (SROM) Palembang masuk Dinas Pagi semua.

Risiko yang masuk Dinas Siang, kebagian untuk bersih-bersih rumah dan menyiapkan nasi untuk makan siang teman-teman yang masuk Dinas Pagi. Setelah selesai beres-beres, biasanya aku menghubungi atau ngobrol dengan teman teman baik cowok maupun cewek melalui telepon yang ada dirumah. Kebetulan dirumah kontrakan, kami diberikan fasilitas Telepon Dinas, karena "kebetulan" kami saat itu merupakan "pejabat-pejabat" kecil yang bertanggung jawab atas kelancaran telekomunikasi di Kota Palembang dan sekitarnya sehingga harus siap dan stand-by 24 jam penuh bila ada masalah atau gangguan teknis.

Suatu saat ketika aku sedang bicara dengan seorang teman cewek, tiba-tiba tersambung dengan pembicaraan lain yang juga cowok dan cewek. Aku kaget karena kejadiannya tiba-tiba sekali, dan sebagai "orang teknis" aku langsung berpikir pasti ada gangguan yang menyebabkan terjadi nya percakapan saling-silang (cross connection) tersebut. Saat itu aku berpikir pasti ada masalah dengan jaringan dan tidak terpikir masalah datangnya dari sentral karena saat itu sentral telepon yang digunakan masih relatif baru pengoperasiannya.

Namun kemudian "rahasia" terjadi nya "percakapan saling-silang (cross connection)" yang aku alami "terbuka" ketika aku beberapa kali dicandain oleh teman-teman yang bekerja di sentral. Dengan kemampuan teknis mereka dan juga fasilitas teknis yang ada pada sentral, rupanya dimanfaatkan oleh teman-teman di sentral untuk ngerjain aku. Dan rupanya teman-teman yang bekerja di Jaringan juga ada yang "dikerjain", maklum saat itu kami semua masih bujangan jadi saling "ngeledek" menjadi hal yang biasa. Selanjutnya, kalau sedang dirumah dan aku memakai telepon harus selalu waspada supaya tidak "dikerjain" teman-teman sentral lagi.
Selengkapnya...

Yang Aneh Tapi Nyata (1)

Selama 34 tahun bekerja, tentunya banyak sekali aku menemui banyak hal baik yang biasa-biasa saja atau yang "aneh-aneh". Kalau yang biasa-biasa saja mungkin banyak orang yang mengalami hal yang sama tapi kalau hal yang aneh-aneh belum tentu semua orang mengalaminya. Kalaupun mengalaminya, mungkin versinya sedikit berbeda.

Hal pertama yang aneh aku temui, ketika aku bekerja untuk pertama kali di KANDATEX (Kantor Daerah Telegrap & Telex) Palembang, disaat aku melaksanakan Dinas Malam pertama. Cerita lengkap nya pernah aku tuliskan di Blog ini (disini). Walaupun sedikit "menegangkan" tetapi kejadian tersebut tidak pernah aku alami lagi, padahal lokasi tempat aku bekerja saat itu di Gedung yang cukup tua (dibangun sejak jaman Belanda), landasan atau lantai sentral-nya saja masih menggunakan Kayu namun masih sangat kuat untuk menahan beban beratnya sentral dan manusianya.

Kemudian ketika aku mutasi ke WITEL-IV Jakarta (waktu itu) dan penugasan pertama di Sentral Telex Jatinegara-2 atau lebih dikenal dengan sebutan STO Prumpung yang sekarang lebih dikenal sebagai kantor/gedung eks KANDATEL Jakarta Timur. Walaupun saat itu, STO JNG-2 (JT-2) masih sepi karena petugas yang bertugas di STO itu hanya petugas Sentral Telex dan rekan-rekan dari Dinas Jaringan saja karena untuk petugas Sentral Telepon (saat itu Sentral Telepon masih menggunakan type PRX dan EWSD) dan petugas Transmisi HAS tidak ada, karena perangkatnya adalah perangkat yang Un-Attended, tapi relatif aman-aman saja dan aku tidak pernah menemukan hal-hal yang aneh-aneh saat bekerja.

Nah, ketika aku di mutasi ke STO Gambir mulailah aku "mendengar" cerita yang "aneh-aneh" tentang kejadian-kejadian yang di luar akal sehat. Dimulai dari cerita petugas Multiplex Analog di lantai 6 Gedung-B STO Gambir yang dinas malam melihat "paha orang" setinggi lantai 6 sampai dengan cerita para petugas Pengamanan kalau ber patroli lewat di samping kanan STO selalu ada yang "melempari" batu, batunya ada tapi yang melemparnya selalu tidak pernah diketahui.

Yang aku paling ingat ketika ada musibah dengan Sentral EMD yang ambruk saat akan dibongkar. Secara akal sehat dan logika, sentral tersebut tidak mungkin ambruk karena selain memang "besar dan berat" juga dudukan atau pegangan sentral di lantai maupun antar rack juga sangat kuat. Hampir setiap hari aku masuk ke ruangan sentral tersebut yang sudah tidak aktif lagi (sudah off) karena ada satu unit kerja di bawah tanggung jawab ku berada disalah satu sudut ruangan sentral tua tersebut jadi aku bisa "memprediksi" kekuatan sentral tersebut.

Tapi yang namanya musibah, sentral yang besar dan berat itu bisa ambruk di saat petugas yang membongkar sedang istirahat. Memang beberapa rack sudah di lepaskan baut-baut pengikat di lantai (aku tidak tahu persis rencana teknis pembongkaran sentral tersebut) tapi dibagian atas, antar rack masih terikat kuat. Menurut cerita yang ada di lokasi, ada yang melihat muncul makhluk hitam yang lebih tinggi dari manusia tiba-tiba datang dan mendorong rack yang paling pinggir dan dengan "effek domino" maka semua rack yang ada disampingnya ambruk karena "beban berat" dari setiap rack yang ambruk dan makhluk terssebut langsung "menghilang" ketika semua rack sudah ambruk.

Keanehan selanjutnya, ketika beberapa Pejabat dari Kantor WITEL meninjau lokasi dan akan melihat konstruksi lantai dari bawah sentral yang ambruk karena dikuatirkan lantai akan retak dengan jatuhnya sentral yang sangat berat dari ruang MDF yang letaknya tepat di bawah sentral tersebut, tiba-tiba terdengar ada suara ketukan dari lantai atas seolah-olah ada yang masih bekerja di lokasi sentral yang ambruk. Langsung ada rekan yang mengechek ke ruangan sentral tapi tidak diketemukan ada orang sama sekali apalagi ada yang masih bekerja. Aneh tapi nyata, dan lantai sentral juga tidak mengalami retak sama sekali walaupun mengalami "hantaman" yang sangat kuat dengan ambruknya sentral EMD tersebut.
Selengkapnya...

"Salah-Arah" di Laut

Peristiwa atau kejadian yang aku alami dan tidak pernah aku lupakan adalah ketika aku harus "terjun" dari perahu masuk ke laut yang pertama kalinya seumur hidup. Hal ini aku alami ketika aku mengikuti Outbound yang wajib diikuti sebelum mengikuti SUSPIM-II di Bandung pada tahun 2001. Jujur saja, selama hidup aku belum pernah main-main di laut, jangankan di laut bermain di pantai saja jarang sekali aku lakukan. Lagi pula aku tidak bisa berenang. Nah ketika mengikuti outbound tersebut, mau tidak mau semua aktivitas yang sudah dipersiapkan oleh penyelenggara harus diikuti karena hasilnya akan melengkapi hasil SUSPIM-II yang akan berjalan.

Aku masih ingat, aktivitas pertama yang dilakukan setelah sampai di Pulau Bidadari (aktivitas outbound dilakukan disekitar pulau Bidadari) langsung pengenalan tentang laut setelah ada permainan pengenalan untuk membentuk team building. Sebelum naik ke perahu kami sudah diberikan pelampung (life-jacket) dan petunjuk serta tata cara untuk melihat arah kemana kita akan berenang menuju arah pantai pada saat terjun kelaut . Ketika semua sudah naik perahu dan mengarah ketengah laut, disinilah "ketakutan-ku" mulai timbul. Seperti yang aku tuliskan diatas, aku belum pernah "masuk" kelaut dan juga tidak bisa berenang, walaupun sudah pakai pelampung pun tetap saja rasa takut itu menguasai diriku. Sekitar 20 atau 30 meter dari bibir pantai, mesin perahu dimatikan dan semua peserta diminta untuk terjun kelaut dan berenang sendiri menuju ke pantai.

Semua teman-temanku sudah masuk kelaut dan berenang menuju ke pantai, tinggal aku sendirian yang belum terjun masuk kelaut. Instruktur sudah menegaskan, aku harus masuk kelaut sampai kapanpun bahkan ada penawaran mau di dorong kelaut atau mau terjun sendiri? Pelan tapi pasti perahu juga semakin menjauh dari bibir pantai terdorong oleh ombak sehingga jarak tempuh ke pantai semakin menjauh. Akhirnya, dengan sisa-sisa "keberanian" yang ada aku meloncat dan masuk kedalam laut untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku. Begitu masuk kedalam air laut, dengan dorongan pelampung aku muncul lagi di permukaan laut walaupun sempat menelan air laut yang cukup banyak. Ternyata eh ternyata, setelah mengapung dan mulai berenang ternyata malah menyenangkan berenang pakai pelampung.

Tanpa aku sadari aku melakukan kesalahan fatal dengan "melupakan" instruksi para instruktur untuk melihat arah kemana tujuan kita berenang. Keasyikan berenang yang aku pikir aku menuju ke pantai, eh ternyata aku malah menuju arah sebaliknya. Aku baru menyadari ketika perahu yang dinaiki instruktur menghampiri aku dan bertanya, "Bapak mau kemana ? mau ke Jakarta kah?" Disitu aku baru menyadari kalau aku salah arah, dan ketika aku mencoba berdiri dilaut untuk melihat arah, sempat di bolak-balik karena diterjang ombak walaupun aku akhirnya mampu merubah arah berenang-ku. Tetapi waktu untuk berlatih sudah hampir habis, aku juga sudah lelah sekali dan ombak juga sudah semakin membesar akhirnya aku "diseret" instruktur sampai ke pantai.

Sampai dipantai aku harus dibantu teman-teman untuk berjalan karena tenaga-ku benar-benar "sudah habis" saat aku "salah-arah" di laut. Ini pengalaman yang tidak pernah aku lupakan, namun ketika aku mendapat kesempatan lagi mengikuti outboud lainnya yang diadakan di laut aku sudah tidak takut lagi dengan laut.
Selengkapnya...

Hormat Pada Dasi

Ketika aku masih jadi staf / pelaksana, terkadang bila aku melihat Kepala Kantor ku yang selalu pakai dasi aku hanya berpikir, kapan aku berkesempatan bekerja dengan memakai dasi ? Apalagi dengan Korps ku yang dari Korps Teknik, nampaknya sesuatu hal yang mustahil kalau aku bekerja dengan memakai dasi.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, dimana dimulai dari karier ku sebagai staf / pelaksana, yang selangkah demi selangkah akhirnya aku mencapai tingkatan Kepala Sub Dinas (Kasubdin) atau sekarang sama dengan Asisten Manager (Asman). Pertama sekali posisi Kasubdin aku jalani saat aku menjadi Kasubdin Transmisi pada Dinas Ophar Sentradaya Kandatel JP.

Nah, sebagai Kasubdin Transmisi inilah aku mulai bekerja harus menggunakan dasi sebagai salah satu kelengkapan harian yang harus dipakai selama jam dinas. Memang diawal terasa agak aneh kalau bekerja sambil memakai dasi, apalagi aku sebagai orang teknik rasanya janggal bekerja dengan memakai dasi. Namun karena sudah keharusan dan merupakan salah satu bentuk disiplin dasar, mau tidak mau setiap hari harus pakai dasi kecuali hari-hari tertentu menggunakan seragam lapangan yang waktu itu masih menggunakan seragam warna coklat muda.

Ketika bertugas di Kandatel JP tidak menjadi masalah dengan aku mengenakan dasi, demikian juga ketika aku di mutasikan menjadi Kasubdin Dukungan Pelanggan di Dinas Pelayanan Network. Nah, cerita tentang "Hormat pada Dasi" aku alami ketika aku di promosikan menjadi Kepala Dinas Jaringan Akses Pelanggan atau Manager Jaringan Akses di Kandatel JS.

Sebagai pejabat baru yang belum mempunyai pakaian dinas lapangan maka aku setiap hari harus mengenakan dasi sebagai pelengkap pakaian dinas harian. Nah, kalau sudah memakai dasi, sejak aku datang ke kantor dan berjalan kemana saja baik di lapangan maupun di lingkungan kantor, hampir semua orang memberi salam khususnya para petugas pengamanan (SatPam). Awalnya aku berpikir, sudah "hukum alam" kalau orang menghormati orang yang pakai dasi di lingkungan kantor.

Namun suatu ketika aku sengaja, sewaktu masuk kantor dasi aku lepaskan sehingga aku menjadi "pegawai biasa" yang akan bekerja. Keanehan mulai terjadi, sejak masuk halaman kantor dan masuk ke dalam kantor tidak ada satupun yang memberi salam kepadaku, apalagi aku sebagai "orang baru" di Kandatel JS belum semuanya mengenali aku. Tetapi ketika aku keluar lagi dari kantor dengan mengenakan dasi sesuai ketentuan, semua orang memberi salam lagi. Aku jadi tertawa melihat hal ini karena aku merasakan kalau orang "memberi salam" rupanya untuk "Dasiku" bukan untuk diriku. Namun kemudian setelah beberapa bulan bekerja aku mulai dikenali banyak orang dan kalau aku bertemu dengan teman sekerja atau petugas pengamanan saling memberi salam walaupun aku tidak mengenakan dasi sekalipun.
Selengkapnya...